Hut Provinsi Jambi ke 22 (1979). Dok. JP |
Oleh: Jumardi Putra*
6 Januari 2024, Pemerintah Provinsi Jambi merayakan
hari jadinya ke 67 tahun. Pangkal masalahnya adalah pembicaraan
seputar sejarah berdiri Provinsi Jambi selama ini masih berkutat (kalau bukan
terjebak) pada narasi politis yaitu perebutan saat peralihan kekuasaan kepala daerah, terutama
dikerucutkan pasca terbitnya Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang
pembentukan Daerah-Daerah Swatantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau,
serta proses realisasi Provinsi Jambi dengan pengisian djawatan-djawatan strategis sebagai konsekuensi
logis dari sebuah daerah otonom yang berhubungan secara langsung dengan
pemerintah pusat.
Sedangkan sejarah sosial yang melingkupinya, terutama awal mula kemunculan tuntutan Jambi menjadi daerah otonom (sejak 1 Januari 1950 masuk
ke dalam wilayah kekuasaan Sumatera Tengah bersama Sumatera Barat dan Riau)
hingga peresmiannya kelak, baik secara defacto (6 Januari
sebagai momen deklarasi Provinsi Jambi dan 8 Februari 1957 sebagai hari
peresmian Provinsi Jambi) dan secara dejure menyusul
belakangan setelah dikeluarkannya Undang-undang Darurat 1957, boleh dikata
terabaikan, apatah lagi sisi kontroversinya.
Sebut saja seperti publik tidak mendapat
informasi secara memadai kondisi sosial-ekonomi masyarakat Jambi masa
itu, sehingga alasan utama di masa awal penguasa Sumatera Tengah yang
mengatakan bahwa usulan Jambi ingin menjadi daerah otonom alias berpisah dari
Sumatera Tengah tidak relevan. Sementara di saat yang sama,
rakyat Jambi justru berkeyakinan sebaliknya karena dengan
bergabung ke dalam Sumatera Tengah, pembangunan Jambi akan berjalan
lamban. Itu artinya,
agar Jambi bisa lebih maju maka harus keluar dari Sumatera Tengah.
Publik juga tidak
mendapati informasi yang komprehensif mengenai organisasi selain Badan Kongres Rakyat Daerah (BKRD) Jambi beserta tokoh-tokoh
di dalamnya yaitu kaum pejuang republiken, kalangan militer, ulama, partai
Masyumi dan bahkan PKI yang menjadi bagian dari proses menuju realisasi
Provinsi Jambi kala itu.
Selain itu, minimnya
informasi seputar organisasi pemuda di tahun 1954 yaitu Front Pemuda
Djambi (FROPEDJA) dan Himpunan Pemuda Merangin Batanghari (MERBAHARI) yang di
masa awal tiada henti mendesak Badan Kongres Rakyat Daerah (BKRD) Jambi untuk
segera merealisasikan Keresidenan Jambi sebagai daerah otonom alias tidak lagi
di kaki kekuasaan Sumatera Tengah. Bahkan, bila tuntutan tersebut tidak
terealisasi, mereka mengancam akan mengambil sikap sendiri sesuai keadaan di
lapangan.
Begitu juga kajian mendalam seputar tarik menarik kepentingan dalam internal Badan Kongres Rakyat Daerah Jambi (BKRD) dalam hubungannya dengan pemerintah pusat, penguasa sumatera tengah, residen se-Sumatera, Dewan Banteng, penguasa militer T.T II Sriwijaya, serta strategi diplomasi “Perundingan Segi Tiga” yang dipakai berkali-kali, juga belum muncul.
Saat yang sama, gelora pelbagai kelompok organisasi pemuda pada tanggal 10 sampai 24 Juni 1957
terus bermunculan, untuk menyebut contoh, seperti Gerakan Pembela Provinsi Daerah Jambi (GPRD)
yang diikuti kemudian berupa dukungan secara resmi dari DPP Himpunan
Pemuda Daerah Jambi, DPC Gerakan Pemuda Ansor Kota Pradja Jambi, DPAC GPII
Marga Mestong, DPC Persatuan Bekas Pejuang Bersenjata Seluruh Indonesia
(PERBEPSI) Kabupaten Batanghari, Kaum Veteran Kabupaten Bataghari,
Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) Kabupaten Batanghari,
Komite PKI Jambi, Dewan Pimpinan Daerah Besar (DPDB), serta dukungan dari
Persatuan Keluarga Kerintji (PKK) pada 22 Juli 1957 (yang isi butir di
dalam surat itu kepada pemerintah pusat agar tingkat II kabupaten Kerintji
dikembalikan ke dalam wilayah Jambi dalam waktu yang sesingkat-singkatnya), setelah terbitnya
Undang-undang Darurat Nomor 19 Tahun 1957 tentang pembentukan Daerah-Daerah
Watantra Tingkat I Sumatera Barat, Jambi dan Riau.
Yang juga tidak kalah penting yaitu generasi sekarang tidak
mengetahui isu-isu kontraproduktif yang berkembang di kalangan warga masyarakat Jambi sepanjang diplomasi
BKRD dengan pemerintah pusat, residen se-Sumatera, Dewan Banteng, dan
penguasa militer T.T II Sriwijaya, serta bagaimana pula
BKRD bersama kalangan organisasi sipil lainnya berusaha meredam isu-isu
kontras yang menyeruak ke tengah masyarakat, seraya terus menggelorakan
tuntutan Jambi berdiri sebagai daerah otonom.
Perlu juga dicatat, mungkin sebagian besar dari generasi sekarang belum mengetahui lokasi dan tempat-tempat penting selain gedung Residen Jambi (kini dipakai oleh Polair) yaitu Gedung Bioskop Murni dan bioskop Capitol, dua tempat terselenggarannya kongres rakyat Jambi, yang menjadi saksi bisu terus bersamainya gagasan untuk menjadi daerah tingkat I Provinsi Jambi. Apakah bangunan-bangunan tersebut masih ada, sudah beralih fungsi, atau justru tidak ada lagi? Benar, sebelum ini ada pameran foto-foto bersejarah seputar Pendirian Provinsi Jambi, tapi selain tidak berkesinambungan, juga tidak didesain dapat diakses oleh publik Jambi secara luas. Idealnya, di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan informasi serta dukungan internet, penyelenggaraan pameran bisa dibuat secara online sehingga kendala jarak bisa teratasi, terutama bagi mereka yang bermukim di luar Kota Jambi. (Lebih lanjut baca tulisan saya di sini: Jambi Tempo Doeloe: Catatan Sepulang dari Pameran).
Sejarah itu
kompleks. Di situ sejarah tidak melulu tentang perebutan dan peralihan dari
satu rezim kepala daerah ke rezim berikutnya, tetapi
bagaimana mengungkai kesadaran kritis dan gagasan progresif dapat membumi dan
bekerja. Itu artinya, sejarah tidak melulu tentang “orang-orang besar”, tapi
juga orang-orang kecil yang tidak tercatat dan akhirnya terlupakan dalam catatan sejarah. Begitu juga
hal-hal yang menjadi rintangan sekaligus sisi kontroversi yang melingkupinya.
Semua perlu mendapat tempat
untuk dipercakapkan sekaligus dituliskan.
Fragmen-fragmen di sekitar sejarah Provinsi Jambi
yang saya kemukakan di atas sudah diteliti oleh civitas akademika di
kampus-kampus di Provinsi Jambi, tapi di samping jumlahnya yang masih minim,
juga sulit diakses secara luas oleh masyarakat. Selain itu, berdasarkan
pengamatan saya, di antara sedikit literatur tentang Jambi sejarah dan kebudayaan secara umum, hingga kini
juga masih didominasi oleh peneliti asing dan publikasinya tentu berbahasa
asing sehingga menyulitkan bagi publik di Jambi membacanya.
Sulit dimungkiri,
mereka yang ingin mengetahui sejarah singkat pergolakan rakyat Jambi memisahkan
diri sejak Keresidenan Jambi bergabung ke dalam sub Provinsi Sumatera Tengah
pada tahun 1946 dan menghendaki hubungan langsung dengan pemerintah pusat
sebagai daerah otonom tingkat 1, mesti merujuk karya Usman Meng yang berjudul
Napak Tilas Liku-Liku Provinsi Jambi: Kerajaan Melayu Kuno sampai Terbentuknya
Provinsi Jambi, terbit pertama kali tahun 1996.
Buku itu (edisi 4:2006), dengan segala keterbatasannya, boleh dikata kontribusi penting Usman Meng di usia senjanya bagi Provinsi Jambi karena selain disusun sistematis-kronologis, juga merupakan langkah maju dari hasil kerja Panitia Pengumpulan dan Penelitian Bahan Sejarah Daerah Jambi pada Februari 1957 (merujuk SK Gubernur Kepala daerah Tingkat I Jambi tanggal 20 Desember 1974 Nomor HK-65/G/1974), yang berisikan sepuluh anggota yaitu Ibrahim Ripin, A. Wahab Madjid, Hanafie, Raden Abdullah, Nungcik Imran, Achmad Daud, A Hanaf, Raden Syarif, Ismail Muhammad dan asisten Bidang Kebudayaan Provinsi Jambi. (Lebih lanjut bisa baca tulisan saya di sini: Napak Tilas Sejarah Berdiri Provinsi Jambi: Warisan Usman Meng di Usia Senja).
Selain karya Usman Meng, saya menemukan tulisan-tulisan lepas maupun gabungan tulisan ketikan generasi sezaman Usman Meng di Arsip Daerah Provinsi Jambi seputar perjuangan rakyat Jambi. Begitu juga tesis yang ditulis oleh Budi Purnomo di program studi ilmu sejarah Universitas Indonesia tahun 2022 berjudul Pembentukan Provinsi Jambi 1946-1958. Sayangnya, sumber literatur itu belum menjadi konsumsi publik secara luas di Jambi.
Membicarakan
hal-ihwal sejarah berdiri Provinsi Jambi tidak saja
mengajarkan generasi sekarang untuk bersikap
arif, tetapi juga kritis terhadap masa lampau, korelasinya dengan
masa kini dan sudah barang tentu sebagai bekal menyongsong hari depan Provinsi
Jambi yang lebih baik, sebagaimana tjita-jita saat Provinsi ini
resmi didirikan 67 tahun yang
lalu.
*Tulisan ini terbit pertama
kali di rubrik artikel portal jamberita.com pada 2 Januari 2024.
0 Komentar