![]() |
Mushala Buya Syafii Ma'arif. Dok, Penulis |
Oleh: Jumardi Putra*
Tiga tahun lebih Buya Prof. Dr. Syafii Ma’arif mangkat (Mei 2022-sekarang). Namun, ia sejatinya tidak pernah pergi, tersebab pikiran-pikirannya masih terus dibaca dan diamalkan oleh mereka yang bersetia merawat kemajemukan di negeri ini. Selain Cak Nur (Nurcholis Madjid), KH. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, nama Buya Syafii Ma'arif berjuluk "Muadzin Bangsa" itu juga kerap dirujuk para sarjana baik dalam maupun luar negeri. Allahuyarham.
Masih terekam jelas, kali pertama mendapat kabar kepulangannya, tiga
tahun lalu, ingin rasanya mengantar jasad almarhum ke tempat peristirahatan
terakhirnya, namun apalah daya jarak yang teramat jaut memisahkan kami, saya mukim di Kota Jambi, sedangkan sang Guru Bangsa itu berada di Jogja. Perasaan
itu muncul lebih karena penghormatan atas ilmu dan dedikasinya kepada bangsa ini.
Yang bisa saya lakukan ketika itu, selain mengantarkan dengan doa, saya
juga sempat menulis artikel sehari kemudian (28/7) tentang pikiran dan jejak
Buya Syafii Ma’arif bertajuk Islam, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. (baca di
sini: https://www.jumardiputra.com/2022/05/islam-keindonesiaan-dan-kemanusiaan.html).
Berselang tiga tahun itu pula, saya baru bisa ke Jogja untuk sebuah
pekerjaan, Maret 2025. Niat hati sudah bulat ingin ziarah ke pusaranya kala itu,
tetapi gagal lantaran padatnya kegiatan saya selama di Jogja. Kendati begitu, keinginan
saya untuk sampai di peristirahatan terakhirnya tidak pernah sirna. Waktu pun terus
berjalan, pikiran-pikirannya masih saya baca sampai saat ini. Setidaknya, saya
mengoleksi 13 buah buku karya Prof. Syafii Ma'arif semasa hidup. Sudah barang tentu karya
pemikirannya, yang dibaca oleh banyak orang, menjadi amal jariyah baginya di
alam kubur.
![]() |
Koleksi penulis buku karya Prof. Dr. Syafii Ma'arif |
Alhamdulillah, 15 Juli 2025, saya kembali ke Jogja untuk sebuah pekerjaan. Saya pun sudah menjadwalkan di sela kegiatan selama empat hari di kota pendidikan itu untuk ziarah ke makam Buya Syafii Ma’arif, salah satunya. Tersebab lokasi makamnya lumayan jauh dari pusat kota Jogja, tepatnya di Dusun Dukuh, Kalurahan Donomulyo, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, maka saya jadwalkan pada hari ketiga atau sehari sebelum saya kembali ke Kota Jambi. Usai dari berburu buku di Toko Raja Murah di desa Tirtonirmolo, Kasihan-Bantul (17/7), saya berangkat memakai motor ke Taman Makam Khusnul Khatimah, tempat Buya Syafii Ma'arif dikebumikan. Jarak tempuh antara lokasi terkini saya dengan Taman Makam Khusnul Khatimah diperkirakan 35 menitan. Syukurlah, sekira pukul 14.45an WIB, saya tiba di pusara sang cendekiawan. Perjalanan yang cukup jauh sekaligus menjadi kesempatan saya bernostalgia menyusuri sepanjang jalan, kurun 22 tahun lalu, pernah juga saya lalui di kota ini. Kendati cuaca di siang hari itu sangat terik, suasana dusun di Kulon Progo yang masih asri membuat perjalanan asyik dihayati.
Di hadapan pusara Buya Syafii Maarif, lazimnya
ziarah kubur, saya mengirimkan doa untuk almarhum. Selebihnya mengenang
sosoknya yang sederhana dengan pikiran-pikiran cemerlangnya. Tidak ada yang
meragukan kecintaannya terhadap bangsa ini semasa hidup, bahkan kala kegusaranya mencermati
perjalanan negeri ini dengan segala permasalahan yang seolah tak kunjung usai,
seperti kemiskinan akut, potret buram politisi “rabun ayam” (defisit negarawan), kualitas
pendidikan dan pelayanan kesehatan serta karut marutnya penegakan hukum. Satu
lagi, radikalisasi keagamaan turut mencoreng wajah guyup rukun republik ini.
![]() |
Penulis di sisi kanan pusara Buya Syafii Ma'arif |
Merujuk pelbagai sumber pemberitaan, lokasi makam ini memang sudah diwasiati oleh Buya Syafii Maarif kepada keluarga. Sebagai penerima penghargaan Bintang Mahaputera Utama (2015), almarhum berhak dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama Kalibata, Jakarta, setempat dengan almarhum Cak Nur (Nurcholis Madjid) dikebumikan, tapi sesuai wasiat bahwa Buya Syafii Ma’arif ingin dimakamkan di sini, di taman makam Khusnul Khatimah, di Desa Dukuh, Kalurahan Donomulyo, Kapanewon Nanggulan, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Tiga tahun lalu, di taman makam ini, Buya Syafii Ma’arif adalah orang pertama yang dikebumikan. Kini, sudah banyak warga Muhammadiyah yang turut dimakamkan di sini. Memang, sejauh memandang, taman makam ini tampak luas dengan kontur tanah berjenjang-bukit. Selain keberadaan makam-makam, pada bagian atas, sebelah kiri dari gerbang utama, terdapat surau atau mushalla Buya Syafii. Usai ziarah, saya melanjutkan shalat Ashar di mushalla tersebut, lalu setelahnya sejenak rebahan melepas penat. Tidak ada pentakziah selain saya sendiri hari itu. Sepanjang itulah berkelana di pikiran saya sosok dan pemikiran Buya Syafii Maarif yang saya pelajari dari karya tulisnya.
Hampir dua jam saya berada di taman makam Khusnul Khatimah. Ziarah saya kali ini melengkapi usaha ngangsu kawruh sehari sebelumnya di pusara pahlawan nasional sekaligus tokoh pendidikan dan pendiri Sekolah Taman Siswa Ki Hadjar Dewantara dan Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Jarum jam menunjukkan angka 16.40 WIB. Saya pun melanjutkan rute berikutnya menuju Kota Jogja. Tidak jauh setelah meninggalkan taman makam itu, saya teringat penggalan ayat 11 surat Almujadalah, yang terpasang di dinding Mushalla Buya Syafii Maarif, artinya berikut ini, “...Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat..”. Lahu, alfatihah.
*Kota Jogja, 18 Juli 2025.
*Tulisan-tulisan berikut ini merupakan catatan perjalanan saya di Jogja:
(2) Ada Sesuatu di (dalam) Jogja
(3) Setengah Abad Arena: Perjalanan yang Tidak Mudah
(4) Selalu Ada yang Tersisa dari Jogja: Dari Sorowajan ke Mantijeron
(5) Asa di Jalan Kaliurang Km 12 Jogja
(6) Jogja yang Dirindukan, Jambi Tempat Berpulang
(7) Jogja Terbuat dari Rindu, Pulang dan Angkringan
0 Komentar