Gedung Sumpah Pemuda, pasca pemugaran, 28/10/1984. |
Oleh: Jumardi Putra*
Hening. Tidak ada pengunjung
lain kecuali saya sendiri sore hari itu, tepatnya Jumat, 8 November 2024. Hanya
tersisa 1,5 jam bagi saya menyusuri gedung bersejarah di Jalan Kramat Raya 106 jelang
tutup pukul 16.00 WIB.
Setiba di laman cagar budaya itu, arloji di tangan kiri saya menunjukkan pukul 14.30 an. Usai membaca peta
denah seisi gedung Museum Sumpah Pemuda itu, saya segera ke meja loket dan
selanjutnya masuk melewati pintu utama gedung sesuai line story yang disusun kurator museum.
Sebenarnya ini napak tilas kedua saya ke gedung beralamat di jalan Kramat Raya No.106, RT.2/RW.9, Kwitang, Kec. Senen, Kota
Jakarta Pusat, setelah sebelumnya sekitar enam tahun yang lalu (2017),
bersamaan kunjungan perdana saya ke Gedung Juang 45 berlokasi di Jalan Menteng
Raya 31, Kelurahan Kebon Sirih, Kecamatan Menteng.
Dari luar gedung ini seperti
rumah bergaya kuno. Kesan jadulnya kentara. Ruang pertama dari museum ini menganggit
sejarah awal abad ke-20, dimana museum ini merupakan rumah tinggal milik Sie
Kong Liang. Foto yang bersangkutan terpampang jelas di ruangan ini bersamaan poster
berukuran besar disertai sosok Bung Karno pada sisi kiri yang berisikan tonggak-tonggak
sejarah perjuangan kaum pemuda tanah air mulai dari 1908 sampai ditetapkannya
Hari Sumpah Pemuda sebagai hari Nasional Bukan hari libur pada 1959.
Foto Sie Kong Liang masa tua dan muda di belakangnya |
Sejak 1908, museum yang juga
dikenal dengan nama Gedung Kramat 106 ini disewa pelajar Stovia (School tot
Opleiding van Inlandsche Artsen) dan RHS (Rechts Hooge School) sebagai tempat
tinggal dan belajar atau yang dikenal dengan nama Commensalen Huis. Tempat ini
juga menjadi tempat pertemuan pergerakan pemuda dari pelbagai daerah sehingga
disebut juga Indonesische Clubgebouw (rumah perkumpulan Indonesia), serta
menjadi tempat latihan kesenian yang dikenal dengan nama Langen Siswo.
Berjalannya waktu, pada 3
April 1973, Gedung Kramat 106 dipugar oleh Pemerintah DKI Jakarta hingga 20 Mei
1973. Lalu gedung Kramat 106 ini dijadikan museum dengan nama Gedung Sumpah
Pemuda yang diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, pada 20 Mei
1973. Berselang setahun setelahnya, tepatnya pada 20 Mei 1974 Gedung Sumpah
Pemuda kembali diresmikan oleh Presiden Soeharto.
***
Sebelum masuk ke ruang utama Museum, di sisi kanan depan gedung terdapat dua patung tokoh ternama yaitu Muhammad Yamin selaku sekretaris Kongres Pemuda Kedua dan Soegondo, sang Ketua Kongres Pemuda Kedua pada 1928. Di antara kedua patung itu terdapat tanda bukti peresmian pertama kali rumah ini dijadikan sebagai Gedung Sumpah Pemuda pada 1973 dan pemugaran di tahun yang sama. Posisi kedua patung ini berubah dibanding saat saya ke sini enam tahun lalu, dimana posisi keduanya berada tepat di sisi kanan-kiri pintu masuk gedung utama museum.
Selain dokumen tertulis yang relevan dan foto-foto tempoe doloe, juga terdapat poster full colour beragam ukuran berisikan informasi seputar sejarah perjuangan pemuda di tanah air mulai dari 1908 sampai 1959 dengan penanda pada masing-masing tonggak sejarah yaitu mulai 1912 ditandai berdirinya Indische Partij, lalu terbentuk Tri Koro Dharmo pada 7 Maret 1975, Jong Soematranen Bond pada 9 Desember 1917, lalu Indonesische Vereeniging diubah menjadi Perhimpunan Indonesia pada 11 Januari 1925 dan terbentuknya Jong Islamieten Bond pada 1 Januari 1925, Kongres Pemuda Pertama pada 30 April-2 Mei 1926 dan berdirinya Perhimpunan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI pada September 1926), lalu berdiri Jong Indonesia pada 20 Februari 1927 dan berubah nama menjadi Pemoeda Indonesia pada 28 Desember 1927. Berlanjut ke tonggak sejarah berdirinya Pemoeda Kaoem Betawi pada awal 1927 dan pembentukan Permoefakatan Perhimpoenan-Perhimpoenan Politik, Kebangsaan Indonesia (PPPKI) pada 17 Desember 1927.
Gedung Museum Sumpah Pemuda sekarang. |
Tonggak sejarah berikutnya yaitu Kongres Pemuda Kedua pada 27/28 Oktober 1928 (bersamaan lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan oleh WR Soepratman), lalu pembentukan Komisi Persiapan Badan Persatoean Kepandoean Nasional. Setelah Indonesia Moeda terbentuk, didirikan Kepandoean Bangsa Indonesia (KBI) pada 1930, lalu pendeklarasian Indonesia Moeda di Solo pada 28 Desember 1930-2 Januari 1931, berlanjut pada 1944 ditandai Lagu Indonesia Raya digubah untuk kepentingan propaganda Jepang, peristiwa Proklamasi Kemerdekaan RI dan Lagu Indonesia Raya mengiringi pengibaran bendera merah putih, dan puncaknya Hari Sumpah Pemuda ditetapkan sebagai Hari Nasional Bukan Hari Libur. Setakat hal itu, keberadaan media pers sebagain bagian dari pergerakan nasional juga tersaji, seperti bunyi kalimat dari tokoh pers sekaligus tokoh kebangkitan nasional Tirto Adhi Soerjo yang tertulis di kaca di salah satu ruangan museum, “Dengan bekerja sebagai redaktur koran, saya bisa menggerakkan hati bangsa.
Selama menyusuri beberapa ruangan di gedung ini, pengunjung akan menjumpai banyak patung lilin yang menggambarkan suasana kaum pemuda saat mempersiapkan hingga jalannya kongres Pemuda yang kelak kita kenal dengan Sumpah Pemuda pada 1928. Bahkan, terdapat pula video berisikan reka ulang suasana diskusi dalam Kongres Pemuda II yang menghasilkan tiga butir Sumpah Pemuda pertama kalinya dan pertama kali juga lagu Indonesia Raya dimainkan oleh W.R. Soepratman. Untuk menyaksikan video reka ulang itu, pengunjung cukup menekan tombol yang berada di pojok dinding ruangan, tidak jauh dari posisi 7 orang pemuda yang berdiri tegak di depan sebuah meja panjang, simbol yang menandai kongres pemuda kedua tahun 1928. Di ruangan ini saya melihat patung tokoh pemuda antara W.R. Supratman, Djoko Marsaid, Amir Syarifoedin, Soegondo Djojopoespito, dan Moh Yamin. Suasana ruangan ini juga sudah berubah dibanding kondisi tujuh tahun yang lalu. Ringkasnya makin apik.
Ruangan ini menjadi saksi
bisu lahirnya sebuah konsep kebangsaan dalam ikrar Sumpah Pemuda yang
dirumuskan oleh pemuda dan pemudi Indonesia pada malam penutupan Kongres Pemuda
Kedua. Di ruangan ini pula kongres berlangsung selama 6 jam, dimulai pukul
17:30 sampai dengan 23:30. Di ruangan ini pula, lagu kebangsaan Indonesia Raya
diperdengarkan untuk pertama kali oleh penciptanya, W.R. Soepratman. Tidak jauh
dari ruangan ini, saya melihat dari dekat ukiran berukuran besar berisikan butir-butir
Sumpah Pemuda.
Biola milik W.R. Soepratman |
Lanjut ke ruangan berikutnya, saya melihat bukti benda-benda bersejarah seperti biola milik W.R. Supratman, media cetak dan piringan hitam dan poster berisikan narasi plus foto-foto tempo doeloe seputar sejarah panitia lagu Indonesia Raya 1944 didukung arsip lagu Indonesia Raya versi asli, keroncong, saat pendudukan Jepang, aransemen Jos Cleber 1951 dan aransemen Addie MS 1997. Sore hari itu saya benar-benar mendengar dengan khidmat lagu Indonesia raya dalam pelbagai versi melalui media digital yang terpasang di dinding ruangan. Tidak jauh dari ruangan itu, saya melihat dari dekat ukiran berukuran besar yang terpajang pada dinding ruangan berisikan rancangan lagu Indonesia Raya versi asli yang dimainkan W.R. Soepratman pada penutupan Kongres Pemuda Kedua 1928.
Dari situ saya menuju ruangan berisikan sejarah organisasi kepanduan disertai bukti-bukti sejarah yang menguatkan peran gerakan kepanduan di tanah air. Sebelum meninggalkan gedung ini, saya melipir sejenak ke bagian belakang gedung museum yang tidak terpisahkan dari Kawasan Museum Sumpah Pemuda. Di situ saya melihat monumen persatuan berisikan 3 butir Sumpah Pemuda disertai simbol tangan mengepal di atasnya. Aura patriotisme dari monumen tersebut terasa oleh saya.
Penulis di Gedung Museum Sumpah Pemuda |
“Semenjak berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo (6908) pergerakan kepemudaan di tanah air mulai terorganisasi secara baik. Di negara Belanda mahasiswa yang berasal dan Indonesia mendirikan Midisch Verene Ging (1908). Sementara di tanah air terus bermunculan organisasi kepemudaan dan kepanduan antara lain Inbasch Party (1912) dan Jong Java Paderinderes (1922).
Melalui kongres pemuda ke 11 organisasi kepemudaan di tanah air mengikrarkan tekad persatuan yang kita kenal dengan sumpah pemuda pada tanggal 28 oktober 1928
Pendudukan Jepang atas Indonesia, di samping membawa kesengsaraan bagi masyarakat di sisi lain telah memicu proses persiapan untuk meraih kemerdekaan.
Puncak perjuangan pemuda dan bangsa adalah proklamasi kemerdekaan negara republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, namun untuk memperoleh kedaulatan yang utuh dan diakui oleh dunia Internasional ternyata masih harus dilalui dengan perjuangan melawan Belanda yang menginginkan penjajahan kembali di Indonesia, pemberontakan partai komunis Indonesia (1948), pergerakan di daerah melawan pemerintah pusat serta gerombolan pengacau DI/TII.
Pengkhianatan Partal Komunis Indonesia (1965) serta penyimpangan atas pelaksanaan UUD 1945 telah menyebabkan munculnya tiga tuntutan rakyat (tritura) dan melahirkan Orde Baru yang bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen”.
Bagian Belakang Museum: Relief dan Monumen Sejarah Perjuangan Pemuda |
***
Tidak terasa, waktu yang semula hanya tersisa 1,5 jam bagi pengunjung museum sore hari hari itu, nyatanya lewat buat saya dan bahkan hampir pukul 17.00 WIB saya baru meninggalkan rumah bersejarah tersebut. Sebagai pecinta sejarah, kunjungan kali ini memiliki arti tersendiri bagi saya pribadi yang notabene berjarak sangat jauh dari dinamika perjuangan kaum pemuda tanah air di masa lalu.
Dari sejarah gedung dan seisi Museum ini saya menjadi mengerti sendi-sendi dasar persatuan Indonesia didiskusikan dan dirumuskan, untuk kemudian diikrarkan oleh kaum Pemuda tanah air, yang kini kita kenal sekaligus kita rayakan saban tahun sebagai Hari Sumpah Pemuda. Hidup Pemuda Indonesia!
*Jakarta-Jambi, 8-11 November 2024. Data yang saya gunakan dalam tulisan ini sepenuhnya merujuk pada informasi yang tersaji di Museum Sumpah Pemuda. Dokumentasi foto dalam tulisan ini sepenuhnya milik penulis. Foto gedung sumpah pemuda di awal tulisan diambil dari sumber Kompas/Hasanuddin Assegaf.
*Berikut catatan perjalanan saya ke tempat-tempat bersejarah di Jakarta:
- https://www.jumardiputra.com/2020/03/sasmitaloka-jenderal-anumerta-ahmad.html
- https://www.jumardiputra.com/2022/03/tragedi-dinihari-30-september-1965-di.html
- https://www.jumardiputra.com/2024/05/apa-ada-angin-di-jakarta-seperti.html
- https://www.jumardiputra.com/2023/12/oase-di-jalan-sabang-jakarta.html
- https://www.jumardiputra.com/2023/07/suatu-siang-di-erasmus-huis-catatan.html
- https://www.jumardiputra.com/2022/10/sejenak-menepi-di-tebet.html
- https://www.jumardiputra.com/2021/08/suatu-hari-tentang-jambi-di-bakoel.html
- https://www.jumardiputra.com/2024/08/dari-de-javasche-bank-menjadi-bank.html
- https://www.jumardiputra.com/2024/08/daniel-s-lev-law-library-sebuah-oase.html
- https://www.jumardiputra.com/2022/09/merajut-asa-di-ruang-belajar-prof-har.html
- https://www.jumardiputra.com/2021/08/saksi-bisu-perumusan-naskah-proklamasi.html
- https://www.jumardiputra.com/2022/03/tragedi-dinihari-30-september-1965-di.html
- https://www.jumardiputra.com/2023/07/goethe-institut-library-oleh-jumardi.html
- https://www.jumardiputra.com/2020/03/arsip-jambi-di-arsip-nasional-republik.html
- https://www.jumardiputra.com/2024/05/melik-nggendong-lali-laku-spiritual-dan.html
0 Komentar