Hanafie, Gubernur Jambi (yang) Gagal Dilantik. Narasi di Balik Sejarah Resmi Pemerintah Provinsi Jambi

Hanafie (berpeci Hitam) bersama keluarga.

Oleh: Jumardi Putra*

Dalam sejarah “resmi” pemerintah provinsi Jambi tertulis nama-nama Gubernur berikut ini: M. Joesoef Singadekane (1957-1967); Abdul Manap sebagai penjabat Gubernur (1966-1967); R.M. Noer Ahmad Dibrata (1967-1974); Djamaludin Tambunan (1974-1979); Edy Sabara sebagai Penjabat Gubernur (1979); Masjchun Sofwan (1979-1989); Abdurrahman Sayoeti (1989-1999); Zulkifli Nurdin (1999-2004 dan berlanjut 2005-2010); Sudarsono Hardjosukarto sebagai Penjabat Gubernur (2005); Hasan Basri Agus (2010-2015); Irman sebagai Penjabat Gubernur (2015-2016); Zumi Zola (2016-2018);  Fachrori Umar (2018-2021), dan sampai sekarang Al Haris (2021-2024).

Adakah tersebut Hanafie di antara nama-nama itu? Tidak ada. Jawaban sesungguhnya tidaklah sesederhana itu. Penulis ingin mengajak pembaca merunut jauh ke belakang, utamanya paska 8 Februari 1957 (dejure), tepat provinsi Jambi diresmikan dan sekaligus pelantikan Djamin Gelar Datuk Bagindo sebagai acting Gubernur dan Hanafie sebagai wakil acting Gubernur Djambi oleh Letkol Ahmad Husein, Ketua Dewan Banteng, dengan didukung 11 orang staf, yaitu Nuhan, Raden Hasan Amin, M. Adnan Kasim, H.A. Manap, Salim, Syamsu Bahrun, Kms. H.A.Somad, Raden Suhur, Manan, Imron Nungcik dan Abd. Umar yang dikukuhkan dengan SK Nomor 009/KD/U/L Kpts-57, di dua tempat yaitu di kediaman Residen Jambi (sekarang Rumah Dinas Gubernur Jambi) dan di Gedung Nasional Jambi (Sekarang BKOW).

Sebenarnya kita bisa merunut jauh ke belakang lagi, antara lain peristiwa Kongres Pemuda se Daerah Jambi pada 30 April – 3 Mei 1954, Konferensi Pasirah-pasirah/Kepala Marga se Daerah Jambi pada 16-18 Januari 1955, Kongres Rakjat Djambi pada 14-15 Juni 1955 dan dibentuknya Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD. Lebih lanjut baca di sini: Kronik Sejarah Berdiri Provinsi Jambi), tapi sengaja penulis tidak sertakan dalam kesempatan ini dikarenakan berbeda fokus. Pendeknya,  usai berhasil lepas dari Sumatera Tengah dan menjadi daerah otonom tingkat I pada 9 Agustus 1957, dan selanjutnya, sebagai konsekuensi dari perintah Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1957, adalah kesemestian memilih Kepala Daerah Swatantara Tingkat I/Gubernur. 

Sebelum itu, BKRD bersama stakeholder lainnya memulai tahapan menyusun Panitia Pelaksana Pembentukan (P3) DPRDP Daswati (Daerah Swatantara Tingkat) I Jambi yang diresmikan sekaligus dilantik pada tanggal 30 Oktober 1957 oleh Overste M. Jusuf Singadekane sebagai wakil Panglima TT II Sriwijaya. Pembentukan P3 DPRDP Daswati I Jambi ini sebagai proses awal terbentuknya Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Peralihan (DPRDP) Provinsi Jambi yang diresmikan sekaligus pelantikan anggota DPRD Provinsi Jambi pada Selasa, tanggal 31 Desember 1957 oleh Acting Gubernur Jambi Djamin Gelar Datuk Bagindo mewakili Menteri Dalam Negeri, bertempat di kediaman Residen Jambi, dan disusul dua hari berikutya pembentukan Dewan Pemerintah Daerah (DPD) Provinsi Jambi (2 Januari 1958).

Melalui sidang Pleno tanggal 3 Maret 1958, anggota DPRDP Provinsi Jambi melakukan pemilihan calon Kepala Daerah Swatantara Tingkat I Djambi atau Gubernur. Sidang bersejarah ini berlangsung di Gedung Nasional (sekarang gedung Wanita/BKOW) dengan diikuti dua calon yakni Hanafie pencalonan dari BKRD dan Raden M. Kamil dari unsur pemerintah. Hadir menyaksikan perwakilan dari  pemerintah pusat dan wakil penguasa perang.

Hasil pemungutan suara pemilihan kepala daerah Jambi menunjukkan saudara Hanafie sebagai pemenang dengan perolehan 29 suara dibanding Raden M. Kamil yang mendapatkan 1 suara. Berselang 10 hari setelah DPRDP Provinsi Jambi bersama pemerintah daerah mengirimkan delegasi ke Jakarta berkenaan hasil pemilihan Gubernur, terbit Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri yang ditandatangani Sanoesi Hardjanita, tanggal 24 April 1958 dengan Nomor Des.71/15.29, memutuskan saudara Hanafie sebagai kepala Daerah Swatantara Tingkat I Jambi. 

Pada bagian menimbang dalam isi surat tersebut termaktub bahwa penetapan ini sejalan dengan realisasi pembentukan Daerah Swatantara Tingkat I Jambi, tidak ada keberatan untuk menunjuk saudara tersebut (Hanafie) menjadi penguasa untuk menjalankan kekuasaan kepala daerah dimaksud dalam pasal 24 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957.

Meski suasana politik di Jambi saat itu terbilang panas dengan ditandai bertambahnya jumlah partai politik sesuai hasil pemilihan umum tahun 1955, seperti Masyumi (18 kursi), Nahdatul Ulama (7 kursi), Partai Nasional Indonesia (2 kursi), Partai Syariat Islam Indonesia (1 kursi), Partai Komunis Indonesia (1 kursi), dan Partai Sosialis Indonesia (1 kursi), kemenangan Hanafie sebenarnya telah diprediksi sebelumnya, mengingat peran dan kontribusinya bersama BKRD sebagai organisasi yang dibentuk oleh berbagai komponen organisasi pemuda dan elemen masyarakat untuk memperjuangkan terwujudnya daerah Jambi sebagai daerah otonom tingkat I.

H. Hanafie

Jauh sebelum pemilihan kepala Daerah Swatantara Tingkat I berlangsung, dukungan resmi dan tertulis kepada Hanafie datang dari sekelompok pemuda yang menamakan dirinya Gerakan Pembela Provinsi Djambi (GPPD) tanggal 14 Juni 1957. Dukungan organisasi yang dipimpin Raden Mardjoyo Pamuk ini disusul kemudian oleh belasan organisasi sosial dan politik. 

Merujuk dokumen resmi BKRD yaitu diawali dukungan dari BKRD pada tanggal 15 Agustus 1957 (berlanjut pada resolusi tanggal 1-2 Oktober 1957), disusul keputusan sidang gabungan DPD DPRDP Merangin, Batanghari dan Kota Pradja Jambi pada tanggal 26 Agustus 1957, dan selanjutnya tanggal 17 Oktober 1957 BKRD mengirimkan delegasi menemui Panglima TT. II Sriwijaya, Letna Kolonel Barlian, guna meminta dukungan pencalonan Hanafie sebagai Gubernur Jambi, dan berlanjut lagi pada tanggal 23 Oktober 1957.

Ditahan Sebelum Dilantik

Kediaman Residen Jambi berbenah. Gedung DPRDP Provinsi Jambi berhias diri. Bendera dan umbul-umbul terpasang rapi. Tembok gedung dikapur, panitia pelaksana bekerja siang-malam, bahkan sebagian masyarakat datang ke kota Jambi, dan di antaranya sambil membawa hewan kerbau dan sapi untuk dipotong sebagai laukpauk bersama nasi minyak. Demikian sejarawan Fakhrudin Saudagar dalam bukunya berjudul Haji Hanafi: Ketua Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) dan Perjuangannya, terbit tahun 1996, menggambarkan suasana jelang pelantikan gubernur Jambi pada 22 April 1958. Meski tidaklah persis, suasana sukacita yang digambarkan Fakhrudin mengingatkan peristiwa serupa ketika pelantikan Djamin Gelar Datuk Bagindo sebagai pejabat acting Gubernur dan Hanafie sebagai wakilnya pada 8 Februari 1957.

Menyusul dua hari sebelum pelaksanaan pelantikan sebagai Gubernur Jambi, lepas waktu maghrib, 11 Maret 1958, Hanafie menerima telegram melalui pelaksana kuasa Militer (Perang) Daerah Jambi, dan memintanya segera menghadap kepada pihak Operasi Sadar, Panglima TT. II Sriwijaya, Ibnu Seotoyo, di kota Palembang.

Telegram mendadak itu tentu membuat Hanafie berada dalam situasi gamang. Ibarat pepatah, bak perahu, ke mudik (hulu) pengayun patah, ke laut ombak pasang. Ia pun meminta saran dan pendapat tokoh BKRD dan teman terdekat tentang jalan alternatif yang akan ditempuh oleh dirinya. Hanya ada dua pilihan bagi Hanafie ketika itu, yaitu memenuhi panggilan atau sebaliknya. Kedua pilihan tersebut sama-sama memiliki konsekuensi yang tidak mudah.

Namun setelah menimbang matang-matang, dan utamanya untuk kepentingan Jambi yakni menghindari gejolak dan kemarahan kelompok pemuda bila mengetahui kabar akan penjemputan Hanafie oleh Pihak Operasi Sadar, yang bisa berimbas munculnya kemarahan, kerusuhan, dan puncaknya bisa menggagalkan terwujudnya daerah Jambi sebagai daerah otonom. Ditambah lagi bersamaan ketika itu marak “pemberontakan” yang dilakukan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), organisasi bentukan Letkol Ahmad Husein di bawah pimpinan Syafruddin Prawiranegara sebagai Perdana Menteri yang mengoreksi pemerintahan Soekarno karena dianggap inkonstitusional dan mengabaikan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat di daerah-daerah.  

Maka, Hanafie memutuskan berangkat memenuhi panggilan pihak Operasi Sadar, Panglima TT. II Sriwijaya, satu hari sebelum pelantikan dirinya sebagai Gubernur Jambi. Persiapan pelantikan Gubernur yang semula disiapkan sedemikian rupa batal. Tak terkecuali bagi pihak keluarga dan orang-orang terdekat Hanafie yang sengaja datang dari berbagai daerah di Provinsi Jambi menanggung rasa kecewa.

Dari Penjara Ke Penjara

Saat meninggalkan Kota Jambi menuju Palembang, Hanafi, pria kelahiran Desa Empelu 10 Desember  1920 ini sedang memegang 3 jabatan penting yakni sebagai ketua BKRD, Kepala Daerah Swatantara Tingkat I Provinsi Jambi, dan ketua DPRDP Provinsi Jambi. 

Sesampai di Palembang, 13 Maret 1958, Hanafie langsung menghadap pihak Operasi Sadar. Di kantor panglima TT. II Sriwijaya, Palembang, Hanafie diterima langsung oleh Syarnubi Syaid, tim Operasi Sadar. Hanafie tidak bertemu dengan Ibnu Soetoyoe sebagaimana isi telegram yang diterimanya ketika berada di Jambi. Kepada Syarnubi Syaid, Hanafie minta dipertemukan dengan Ibnu Sutowo, panglima Operasi Sadar. Sayang, permintaan Hanafie ditolak. Dan faktanya status Hanafie sudah berubah menjadi tahanan kota oleh pihak Operasi Sadar.

Penjelasan singkat Syarnubi Syaid kepada Hanafie memuat kebijakan panglima TT.II Sriwijaya, yakni (1) berdasarkan laporan dari daerah Jambi, bahwa saudara Hanafie berbahaya tinggal di Jambi, dan (2) operasi Sadar, TT. II Sriwijaya mengambil keputusan terhadap Sdr. Hanafie agar tidak boleh keluar dari Kota Palembang.

Sekembalinya ke kamar hotel Aman, tempat Hanafie tinggal selama seminggu di Palembang, dirinya berpikir serius semua perkembangan dan memiliki firasat bahwa dirinya telah menjadi korban fitnah orang yang pro-PRRI. Firasat ini memang pernah dituduhkan dan menjadi isu yang berkembang terhadap Hanafie seiring peresmian provinsi Jambi dan dirinya dilantik sebagai wakil acting Gubernur, mendampingi Djamin Gelar Datuk Bagindo selaku acting Gubernur Jambi pada tanggal 8 Februari 1957. Kecurigaan Hanafie bertambah setelah penetapan dirinya sebagai tahanan kota di Palembang tidak disertai selembar surat penahanan.

Meski demikian Hanafie rela menghadapi situasi sulit dengan pertimbangan matang dan siap menerima konsekuensi seberat apapun ke depan. Bagi Hanafie, yang terpenting tidak terjadi gejolak yang dapat menghambat realisasi Jambi menjadi daerah otonom tingkat I, sebagaimana isi pidatonya di hadapan rakyat Jambi pada 8 Februari 1957, tepat saat pelantikan acting Gubernur Jambi, yakni “Sekali Provinsi Jambi, tetap provinsi Jambi!”.

Usai menginap satu minggu di hotel Aman dan berlanjut tiga minggu di rumah Muchtar Djunaidi, pensiunan tentara asal Bungo yang tinggal di Palembang, tanpa pernah diinterogasi, barulah kemudian Hanafie dijemput oleh dua orang petugas dari Korps Polisi Militer (KPM/CPM) Palembang menghadap komandan (KPM/CPM) Palembang (saya belum mendapat identitas yang bersangkutan), dan selanjutnya Hanafie dimasukkan ke ruang tahanan CPM Palembang. Setelah lima hari ditahan di CPM Palembang, Hanafie dipindahkan ke rumah tahanan AURI di Talang Betutu. Hari keempat di AURI Talang Betutu, Hanafie diberangkatkan ke Jakarta melalui jalur udara. Sesampai di Bandara Halim Perdana Kusuma Hanafie langsung dibawa dan dijebloskan ke Rumah Tahan Militer (RTM) Jakarta selama 1 minggu (akhir Februari 1960). 

Selanjutnya, sekitar awal Maret 1960, Hanafie dipindahkan ke penjara Salemba. Setelah sebulan berada di Penjara Salemba, barulah Hanafie diinterogasi oleh 3 (tiga) orang dari Kejaksaan. Salah seorang dari mereka bernama J. Naro sebagai pimpinan tim. Dari tiga pertanyaan yang diajukan J. Nor kepada Hanafie, terdapat satu pertanyaan menarik, “Apa sebab Saudara ditahan?”

Hanafie menjawab, sebagaimana ditulis Fakhrudin Saudagar dalam bukunya, Haji Hanafie dan Perjuangannya, 1996 (Hal. 272-273),  “Sebelum menjawab pertanyaan, Hanafie tertegun sebentar. Sebelumnya saya minta maaf terlebih dahulu bila jawaban saya ini nanti menyinggung perasaan bapak-bapak dari kejaksaan. Seharusnya sayalah yang ingin bertanya kepada tim kejaksaan, apa sebabnya saya ditahan? Menurut hemat saya sejak kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini saya belum pernah berkhianat/makar kepada negara republik Indonesia”.

Jawaban sekaligus pernyataan Hanafie tersebut tidak mendapatkan tanggapan balik dari J. Nor bersama timnya. Justru interogasi dihentikan dan mereka langsung meninggalkan Hanafie. Ketidakpastian yang dihadapi Hanafie terus berlanjut ketika dirinya dipindahkan dari Salemba ke penjara Cipinang pada awal April 1960.

Demikian hari-hari Hanafie. Jauh dari orangtua, istri dan anaknya yang tinggal di Desa Empelu (sekarang terletak di Kecamatan Tanah Sepenggal), Kabupaten Bungo, provinsi Jambi. Suatu waktu, Basyaruddin dan M.O. Bafadhol, sahabat Hanafie sesama pejuang pendirian provinsi Jambi, mengunjungi dirinya di Penjara Cipinang. M.O. Bafadhol ketika itu menjadi anggota DPR-RI utusan daerah Jambi. Ketika itulah Hanafie baru mengetahui perkembangan daerah Jambi sekaligus kabar mengenai Ketua DPRDP provinsi Jambi yang baru, yakni saudara Murad Alwi dan hasil rapat pleno DPRDP Provinsi Jambi memilih Letkol. M. Yusuf Singadekane sebagai Gubernur Kepala Daerah Swatantra Tingkat I Jambi, pengganti Hanafie.

Korban Politik

Selama dalam tahanan baik di Palembang maupun Jakarta, Hanafie tidak pernah menerima surat pemberhentian statusnya sebagai pegawai negeri sipil. Bahkan sampai Hanafie mendapat surat keputusan bebas penuh sebagai tahanan terhitung mulai tanggal 25 Desember 1960. Dalam beberapa tahapan, Hanafie justru ditugaskan kembali menjadi pegawai negeri sipil menempati pangkat IV/B, sama dengan golongan sebelum dirinya ditahan. Puncaknya, tahun 1965, Hanafie diangkat menjadi Kepala Jawatan Sosial Daerah Provinsi Jambi, Kementerian Sosial RI.

Menariknya lagi, masih dalam buku Fakhrudin Saudagar (Hal 288), saat resmi bebas penuh pada tanggal 25 Desember 1960, Hanafie terlebih mendapat nasehat, wejangan, dan saran dari Mayor Soedarmono sebagai berikut, “Dijelaskan bahwa hal-hal yang sudah terjadi dialami Hanafie adalah merupakan konsekuensi kebajaksanaan keamanaan. Saudara Hanafie hendaknya tidak berprasangka buruk yang bukan-bukan. Kepada Hanafie disarankan agar memanfaatkan waktu bebas untuk segera mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuan”.

Pusara H. Hanafie di Desa Empelu, Kab. Bungo. Dok. Penulis.

Keganjilan sebagaimana tampak pada penjelasan di atas kian menguatkan praduga bahwa Hanafie merupakan korban politik masa itu. Alih-alih disebut bersalah, hingga usia provinsi Jambi menginjak 64 tahun ini (6 Januari 2021), pun isu dirinya terlibat PRRI tidak terbukti kuat dan seolah hilang bersama angin.

Sependek amatan saya, selain buku biografi Hanafie yang ditulis Fakhrudin Saudagar tadi itu, baik terhadap sumber-sumber tertulis maupun pendapat tokoh sezaman, belum ada penelitian serius yang menguliti sejarah kontroversi pergantian tampuk kepemimpinan di provinsi Jambi, seperti penjegalan pelantikan Hanafie sebagai Gubernur Jambi. Tentu tak hanya itu, pada 22 Januari tahun 1957, muncul kecaman dari berbagai masyarakat di provinsi Jambi terhadap keinginan pemerintah pusat memindahkan Residen Jambi, Djamin Gelar Datuk Bagindo dan Bupati Merangin, H.A. Manaf (salah seorang anggota Dewan Banteng) ke luar daerah Jambi. Begitu juga peristiwa awal tahun 1946, yakni adanya tuntutan sehingga Raden Inu Kertapati menggantikan saudara Sagaf Yahya, Residen Jambi yang pertama pasca Proklamasi.

Mengamati sisi kontroversi yang menyertai perjalanan kepemimpinan di provinsi Jambi, relevan kiranya kita semua, terutama pengambil kebijakan dan kalangan perguruan tinggi, melakukan penguatan bagi kerja-kerja pendataan, pengumpulan sumber data kearsipan, dan kritik sumber sejarah serta didukung publikasi yang dapat menjangkau banyak pihak. Hanya dengan cara demikian, selain akan berkontribusi bagi pengetahuan, juga yang tak kalah penting adalah daerah Jambi terus maju dengan berpijak pada tradisi penelitian yang berkesinambungan.

*Tulisan ini terbit pertama kali di rubrik Jejak portal kajanglako.com pada Senin, 15 Juni 2020.

Referensi:

- Fakhrudin Saudagar, Haji Hanafie: Ketua Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD) dan Perjuangannya, terbit Desember 1996 (Dicetak terbatas. Tanpa penerbit).
- Kronik Sejarah Berdiri Provinsi Jambi. Selengkapnya dapat dibaca di sini: http://kajanglako.com/id-9824-post-kronik-sejarah-berdiri-provinsi-jambi.html
- Perjuangan Mencapai Provinsi Jambi: Dokumen resmi Surat-surat Badan Kongres Rakyat Djambi (BKRD). Dokumen ini semula disimpan oleh Ibrahim, sekretaris BKRD, dan disusun oleh Usman Meng, mantan Ketua DPRDP Merangin. Dokumen tersebut dapat diakses di kantor Arsip Daerah Provinsi Jambi.
- Usman Meng, “Napak Tilas Liku-Liku Provinsi Jambi”, terbit 1996, setelah sebelumnya berkali-kali diperbaiki sejak 1994. Tidak terbit dalam jumlah banyak.
*Foto Hanafie bersama keluarga di awal tulisan (Tahun belum diketahui). 

2 Komentar

  1. Al Fatihah buat nenek Hanafie. Beliau orang baik

    BalasHapus
  2. Kakek hanafie. Sosok pejuang kebangaan masyarakat Jambi.

    BalasHapus