Warisan Pengetahuan Sultan Serdang Tengku Luckman Sinar

Kiri-kanan:  Dr. Deliani Susi, penulis dan Prof. Tengku Silvanasinar


Oleh: Jumardi Putra*

Sepulang dari Museum bangsawan asal Tiongkok, Tjong A. Fie, di Jalan Abdullah Lubis Nomor 42, Kota Medan, oleh Deliani Susy, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) dan pascasarjana Universitas Muslim Nusantara Alwashliyah, saya dikenalkan dengan Profesor Tengku Silvanasinar, Guru Besar linguistik FIB Universitas Sumatera Utara (USU).

Gayung pun bersambut, yang semula tidak saya ketahui sama sekali, saya bersua sekaligus terlibat bincang panjang dengan bu Silvanasinar di sebuah rumah yang beralih fungsi menjadi perpustakaan peninggalan ayahnya yaitu Tuanku Tengku Luchman Sinar. Di sinilah saya berkenalan dengan 140-an karya tulis almarhum Tuanku Tengku Luckman Sinar (Sultan Serdang sebelum yang sekarang). Bukan hanya itu, oleh bu Silvanasinar saya juga diajak masuk ke ruang kerja pribadi ayahnya di lantai II. Tak syak, dinding di sebelah tangga yang menghubungkan kami ke lantai II dipenuhi buku-buku.

Perpustakaan atau juga disebut Taman Bacaan ini berdiri 2011, tepat setelah kepulangan Tuanku Tengku Luchman Sinar. Di gedung ini tersimpan lebih kurang 7000 ribu koleksi buku yaitu mencakup berbagai jenis, termasuk buku, manuskrip, dan materi audiovisual. Ribuan koleksi buku di perpustakaan ini dikelompokkan dalam berbagai kategori seperti adat, budaya, sejarah, pendidikan dan hukum. Umumnya bertitimangsa pada sejarah dan budaya Melayu.

Di samping itu, juga mencakup manuskrip yang memiliki nilai historis, dengan sekitar 500 lembar manuskrip yang telah berusia lebih dari 200 tahun, terutama tentang Melayu Deli Serdang. Selanjutnya, terdapat pula koleksi audiovisual berupa film sejarah dalam format VCD dan DVD dengan sekitar 50 judul film yang tersedia bagi pengunjung.

Sepintas, bangunan perpustakaan ini serupa dengan rumah-rumah pada umumnya, dengan pengecualian pada bagian atapnya yang dihiasi dengan motif tradisional Melayu. Masuk dari garasi, saya bersama sejawat lainnya langsung dipersilahkan naik ke lantai dua. Di lantai inilah koleksi buku Tengku Luckman Sinar, pemangku adat kesultanan Melayu Serdang, tersimpan sekaligus terawat dengan baik.

Perpustakaan pribadi Tengku Luckman Sinar telah berdiri sejak 1968. Sebagai sejarahwan nasional Indonesia yang diakui oleh masyarakat, Tengku Luckman Sinar telah lama menjadi penulis tetap di surat kabar lokal sejak usia muda. Karyanya yang pertama, “Sari Sedjarah Serdang” dalam dua jilid, diterbitkan pada tahun 1971. Berkat keunggulan ilmunya dalam sejarah, adat, serta budaya Melayu, ayah dari Silvanasinar ini menerima penghargaan sebagai Pemuka Melayu Islam Beraja oleh Sultan Brunei.

Perpustakaan Tengku Luckman Sinar

Setakat hal itu, sebagai seorang pendidik luar biasa dalam sejarah, kebudayaan, dan etnomusikologi, Tengku Luckman Sinar telah aktif dalam penelitian dan mengikuti berbagai seminar baik dalam maupun luar negeri, baik sebagai peserta maupun sebagai penulis makalah.

Setelah kepergian pemegang Adat Kesultanan Melayu Serdang, yang juga dikenal sebagai Tuanku Luckman Sinar Basarshah II pada awal 2011, maka didirikanlah sebuah Taman Baca untuk umum yang difungsikan sebagai kenangan untuk mengenang dedikasi Tengku Luckman semasa ia hidup, terutama pada ranah sejarah dan budaya Melayu Deli Serdang.

Demikian buah percakapan saya bersama Tengku Silvanasinar sekaligus kunjungan saya di perpustakaan peninggalan ayahnya. Di atas itu semua, berkunjung ke sebuah perpustakaan di Kota Medan ini kembali mengingatkan saya akan kota-kota hebat lainnya di tanah air, yang terus tumbuh dan berkembang sejalan dengan kehadiran kampus-kampus bermutu, ghirah pusat studi dan komunitas epistemik, perpustakaan dan toko-toko buku, serta gedung atau tempat-tempat bersejarah yang terawat dengan baik.

Nah, selama di Medan, saya menemukan geliat optimistik tersebut. Saya sempat mengunjungi Istana Maimun, Masjid Al-Mashun, Restoran Tip Top (berdiri sejak tahun 1929 dan dulunya bernama Jang Kie), serta kediaman si tajir Tjong A Fie dan suasana malam hari di Medan Merdeka Walk yang asyik dan memesona.

 

*Kunjungan saya ke perpustakaan ini berlangsung 18 Maret 2016.

*Catatan perjalanan saya di Medan, baca selengkapnya di sini: Menyusuri Kemasyhuran Istana Maimun.


*Berikut tulisan-tulisan saya lainnya:

1) Pilkada Jambi dan Nyanyian Sunyi Sepanjang Oktober

2) Darurat Demokrasi: Memaknai Persinggungan Cendekiawan dan Politik

3) Quo Vadis APBD Jambi 2019-2024?

4) Ketindihan Teknokratis: Problem Akut Perencanaan Pembangunan

5) Pilgub Jambi 2024 dan Peta Jalan Pemajuan Kebudayaan

6) Persoalan Fundamental di Ujung Kepemimpinan Al Haris-Sani

7) Potret Buram Daya Saing Daerah Jambi

8) Anomali Pembangunan Provinsi Jambi 2023

9) Beban Belanja Infrastruktur Jambi MANTAP 2024

10) Di Balik Gaduh Mendahului Perubahan APBD Jambi 2023

11) Medan Terjal Tahun Berjalan APBD Jambi 2023

12) Menyoal Proyeksi APBD Jambi 2024

13) Gonjang Ganjing Defisit APBD Jambi 2023

14Dua Tahun Jambi Mantap Al Haris-Sani, Sebuah Timbangan

15) Setahun Jambi Mantap Al Haris-Sani: Sebuah Timbangan

16) Mengantar Al Haris-Sani Ke Gerbang Istana

17) Surat Terbuka untuk Wo Haris, Gubernur Terpilih Jambi

18) Surat Terbuka untuk Wakil Gubernur Jambi

19) Pandemi Covid-19 di Jambi, Surat Terbuka untuk Gubernur Jambi

20) Polemik Angkutan Batu Bara di Jambi dan Hal-hal Yang Tidak Selesai

21) Batu Bara Sebagai Persoalan Kebudayaan, Sebuah Otokritik

0 Komentar